Metode penanganan Psikodinamika
Perspektif
Psikodinamika (psychodynamic perspective)
adalah orientasii terotis yang
menekankan determinan perilaku yang tidak disadari. Sigmund Freud ( 1856-1939
mengatakan bahwa gangguan psikologis terfokus pada motif-motif yang tidak disadari
dan konflik. Idenya mengenai penyebab dan treatmen gangguan psikologis
membentuk dasar bagi perspektif psikodinamika tersebut. Freud memformulasikan
teori bahwa gangguan pada pikiran memunculakan perilaku yang aneh dan eksotif
serta menggejala. Perilaku dan gejala- gejala ini dapat diteliti serta
dijelaskan secara ilmiah. Istilah psikoanalisis diidentifkasikan dengan teori
orisinal dan pendekatan terapi yang dikemukakan freud. Istilah psikodinamika
merujuk lebih luas terhadap perspektif yang menfokuskan kepada proses-proses
yang tidak disadari serta memiliki cakupan yang lebih luas dalam membahas
kepribadian dan treatmen[1].
Struktur
kepribadian Freud
Menurut
freud, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yakni sadar (conscious),
prasadar (preconscious), dan tidak sadar (unconscious). Peta kesadaran ini
dipakai untuk mendiskripsikan unsure cermati dalam setiap event mental seperti
berfikir dan berfantasi. Tahun 1923 Freud mengenalkan tentang id,ego dan
superego[2].
Struktur ini diumpamakan sebagai gunung es. ( Dirgagunarsa,1996: 63,
Sobur,2009)
Id
adalah bagia kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologi manusia,
pusat insting ( Rakhmat, 1994: 19, Sobur, 2009). Id selalu berprinsip memenuhi kesenangan sendiri (pleasure principle), termasuk didalamnya
naluri seks dan agresifitas ( Sarwono,1997:58,Sobur,2009). Freud (1991)
mengguanakan frase proses berfikir primer (primery
process thinking) untuk menggambarkan secara bebas asosiasi, keanehan dan
representasi kognitif yang menyimapang tentang dunia yang dimiliki Id [3].
Ego
berfungsi menjembatani tuntutan Id dengan realitas didunia luar. Ego adalah mediator antara hasrat-hasrat
hewani dan tuntutan rasioanal dam realistic. Bergerak berdasarkan prinsip
realitas (reality principle). Ego memberi kekuatan mental kepada
individu untuk membuat penilaian, memory, persepsi dan pengambilan keputusan .
berlawana dengan proses perfikir primer tidak logis yang dimiliki oleh Id, fungsi ego dicirikan dengan proses berfikir
sekunder (secondary process thinking)[4].
Superego
berisi kata hati atau conscience. Superego menghendaki agar
dorongan-dorongan tertentu saja dari id
yang direalisasikan, sedangkan dorongan-dorongan yang tidak sesuai dengan nilai
nilai moral tidak dipenuhi (Sobur,2009). Superego pada hakikatnya merupakan
elemen yang mewakili nilai orag tua atau interpretasi orang tua mengenai
standart social, yang diajarkan kepada anak melalui berbagai larangan dan
perintah. Superego bersifat nonrasional dalam menuntut kesempurnaan, menghukum
dengan kesar kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun baru dalam fikiran[5].
Mekanisme
Pertahanan Diri
Mekanisme
pertahanan adalah strategi yang dipakai individu untuk bertahan melawan
ekspresi implus Id serta menentang
tekanan superego. Menurut Freud ego
mereaksi bahaya munculnya implus Id
menggunaka dua cara:
1. Membentengi
imlpus sehingga tidak dapat muncul menjadi tingkah laku sadar.
2. Membelokkan
implus itu sehingga intensitas aslinya dapat dilemahkan adau diubah.
Freud
mendiskripsikan delapan mekanisme pertahanan, yaitu Identification, Displacement, Repression, Fictation ,Regression,
Reaction , Formation , Projection[6].
Menurut Freud setiap orang menggunakan mekanisne pertahanan diri secara
berkelanjutan untuk menyeleksi pengalaman-penagalaman yang berpotensi
menimbulkan gangguan[7].
Perkembangan
Psikoseksual
Freud
membagi perkembangan kepribadian menjadi tiga tahapan, yakni:
1. Tahap
infantile (0-5 tahun)
2. Tahap
Laten ( 5-12 tahun)
3. Tahap
Genital (<12 tahun).
Tahap
Infantil yang paling menetukan dalam membentuk kepribadian, dibagi menjadi tiga
fase. Yaitu: fase oral, fase anal, dan
fase falis ( alwisol,2009: 29). Setiap tahap berfokus pada zona erogenous
yang berbeda. Kegagalan melewati tahap-tahap ini secara normal akan menimbulkan
gangguan psikoseksual dan gangguan karakter[8].
Pandangan
Psikodinamika Post Freudian
Para
teoretikus post-freudian yang berangkat dari teori Freud menentang pendapat
freud yang terlalu menekankan insting seksual dan agresif sebagai akar
kepribadian. Mereka lebih focus pada kebutuhan interpersonal dan social serta
peranan factor-faktor sosiokultural. Post-Freudian memperluas cakupan teori
psikodinamika dengan memasukkan hubungan antara individu dengan lingkungan
social. Mereka membentuk tahapan bagi para teoretikus untuk mengekplorasi
peranan proses kognitif, hubungan interpersonal, serta konteks social bagi
perkembangan kepribadian dan gangguan psikologis.
Treatmen
Tujuan
Utama dari treatmen psikoanalisis yang dikembangkan oleh freud
(freud,1913-1914,1963) adalah untuk mebawa hal-hal yang ditekan dan tidak
disadari ke alam sadar. Hal tersebut sebagian besar dicapai melalui dua metode
terapi.
1)
Asosiasi bebas (free association), klien mengungkapkan apapun yang ada
pada pikirannya. Asosiasi bebas merupakan proses pengungkapan tanpa sensor dari
pikiran-pikiran segera setalah pikiran masuk kebenak kita. Asosiasi bebas
dipercaya secara bertahap akan mengahancurkan pertahanan yang menghambat
kesadaran tentang proses bawah sadar. Klien diminta untuk tidak menyengsor atau
menyaring pikiran, tetapi membiarkan pikiran mereka mengembara secara bebas
dari satu pikiran ke pikiran lain. Psikoanalisa tidak menyakini bahwa proses
asosiasi bebas benar-benar bebas. Impuls-impuls yang direprsi mendesak untuk diekspresikan/ dilepaskan,
menghasilkan suatu kompulsi untuk mengungkapkan ( compulsion to utter)[9]
.
2)
Analisis mimpi (dream analysis), klien menceritakan kejadian-kejadian yang dilihatnya dalam mimpi
kepada klinisi untuk kemudian menghubungkan kejadian-kejadian ini secara bebas.
Mimpi merupakan “jalan utama menuju ketidaksadaran”. Selama tidur, pertahanan
ego melamah dan impuls yang tidak dapat diterima menemukan ekspresinya dalam
mimpi. Kerena pertahanan tidak seluruhnya dihapuskan, impuls mengambil bentuk
yang disamarka atau diasosiasikan. Dalam teori analitik, mimpi memiliki dua
tingkatan muatan[10]:
Ø
Muatan manifest (manifest content) : materi mimpi yang dialami dan dilaporkan.
Ø
Muatan Laten (latent
content): materi bawah sadar yang
disimbolisasi atau diwakili dalam mimpi.
Menurut Freud proses psikoanalisis distimulasi
oleh transference, kondisi klien diasumsikan
melepaskan hubungan yang penuh konflik
dengan orangtuanya melalui cara mentranfer perasaan mengenai
orangtuanya kepada klinisi. Ketika
perasaan konflik mengenai orang tua terpacu melalui transference, klinisi dapat membantu klien untuk proses Working trought. Pada proses ini, klien
dibantu untuk mencapai suatu resoles yang lebih sehat bagi masalahnya
disbandingkan dengan apa yang telah terjadi pada masa kanak-kanak.
Ketika pelaksaan terapi, sering terjadi (resistance) klien atau menarik diri.
Melakukan terapi, melawa hasrat bawah sadarnya, melupakan hal-hal yang penting
bukanlah hal yang mudah bagi klien. Dalam hal ini tugas seorang klinis adalah
membantu klien untuk mengatasi hal tersebut. Interpretasi adalah sebuah teknik
yang mungkin dapat digunakan untuk membantu klien[11].
3)
Terapi Perilaku
, Terapi perilaku ( behavior therapy)
merupakan
aplikasi sistematis dari prinsip-prinsip belajar untuk menangani gangguan
psikologis. Kerena fokusnya pada perubahan perilaku,bukan perubahan kepribadian atau menggali masa lalu secara
mendalam, tetapi perilaku relative, berlangsung umumnya dari beberapa minggu
samapai beberapa bulan. Metode adalah[12]:
Ø
Disensitisasi
sistematis (systematic desensitization). Melibatkan suatu program terapeutik yang memperlihatkan stimuli
yang secara bertahap semakin menakutkan sementara individu tetap merasa santai.
Ø
Pemaparan
Betahap ( gradual exposure) juga disebut pemaparan in vivo, artinya hidup.
Orang yang memiliki masalah fobia secara sengaja dipaparkan pada stimuli yang
menimbulkan ketakutan.
Ø
Modeling
. individu mempelajari perilaku yang diharapkan dengan mengamati orang lain
yang melakukannya ( Braswell& Kendall,2001). Teknik perilaku juga
mengguanakan teknik-teknik yang didasarkan psds operan conditioning atau
pengahdiahan (reward) dan hukuma secara sistematis untuk membentuk perilaku
yang diharapkan
2.2 Metode penanganan Humanistik
Perspektif
Humanistik (humanistic perspective)
adalah keyakinan bahwa motivasi manusia didasarkan pada suatu tendensi bawaan
untuk pencarian pemenuhan diri dan arti dalam hidup. Menurut teori humanistic
seseorang termotivasi oleh kebutuhan untuk memahami diri mereka dan dunia serta
untuk mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dengan cara memenuhi potensi
unik mereka[13].
Teori
yang berpusat pada pribadi
Pendekatan
fenomenologi dari Rogers konsisten menekankan pandangan bahwa tingkah laku
hanya dapat difahami dari bagaimana dia memandang realita secara subyektif ( subjective experience of reality) (Alwisol,
2009: 265). Teori ini berfokus pada keunikan individu. Pentingnya mengijinkan
setiap individu untuk mencapai pemenuhan maksimum bagi potensinya. Ketika
mengaplikasikan teori ini dalam konteks terapi, Rogers (1951) mengunakan
istilah Client-Centered untuk
merefleksikan kepercayaannya bahwa setiap orang pada dasarnya baik dan bahwa
potens pengembangan diri terletak didalam diri individu tersebut dan bukan pada
terapis ataupun metode terapi Selain Client-Centered, Rogers juga
mengembangkan metode terapi tak mengarahkan ( non directive).
Inti
dari teori Rogers ini adalah gambaran diri seseorang yang dapat menyesuaikan
diri dengan baika harus sesuai atau kongruen dengan pengalaman orang tersebut.
Rogers mencirikan seseorang yang sepenuhnya berfungsi sebagai seseorang yang
berada pada suatu proses evolusi dan pergerakan kontinu, buka pada suatu
kondisi yang statis dan terhenti[14].
Teori
aktualisasi diri
Abraham Maslow.Teori Herarki
Kebutuhan
Maslow
berpendapat bahwa kebutuhan manusia sebagai pendorong (motivator) membentuk
suatu hierarki atau jenjang peringkat. Pada awalnya Maslow mengajukan hierarki
lima tingkat yang terdiri atas kebutuhan fisiologi, rasa aman,cinta,penghargaan
dan mewujudkan jati diri( aktualisasi diri) (sobur,2009:274).
Maslow
menekankan pada aktualisasi diri (self
Actualization), pencapaian maksimum dari potens perkembangan pskologis
seseorang Rogers dan Maslow (1971)
mendefisinikan gangguan psikologis dalam istilah tingkat deviasi dari keadaan
ideal dan memiliki pandangan yang mirip mengenai kondisi yang menghalangi
aktualisasi diri[15].
Treatmen
Terapi terusat Individu
(Client-Centered)
Menurut
pendekatan Client-Centered yang dikemukan oleh Rogers, terapi harus berfokus
pada kebutuhan klien, bukan pada sudut pandang klinisi. Tugas seorang klinisi
adalah untuk membantu klien menemukan kebaikan dasar mereka untuk kemudian
membantu klien mencapai pemahaman yang lebih besar mengenai diri mereka. Rogers
merekonedasikan para terapis untuk melakukan treatmen terhadap klien dengan
penerimaan positif tidak bersyarat (unconditional
positive regard). Metode ini melibatkan penerimaan penuh terhadap apa yang
dikatakan, dilakukan, dan dirasakan klien. Terapi dengan model Client-Centered
sering menggunakan teknik-teknik seperti refleksi dan klarifikasi. Dalam
refleksi, terapis mencerminkan kembali apa yang baru saja dikatakan oleh klien,
mungkin dengan cara menfrasekan kembali.
Berlawanan
dengan metode terapi mendetail yang digambarkan oleh Rogers, Maslow tidak
menspesifikasikan suatu model khusus untuk terapi karena ia mengembangkan
ide-idenya dengan konteks akademik, bukan dalam observasi klinis ataupun
treatmen. Teorinya lebih mengagambarkan suatu peta dari perkemabangan optimal
manusia dan bukan suatu dasar konkret bagi treatmen gangguan psikologis.
Dalam
konseptualisasi yang lebih baru (Elliot,2001;Richard and Susan,2012), terapis
humaistik dan eksperimental telah menekanka pentingnya penggunakan
metode-metode klinis. Terapis humanistic dan eksperimental kontemporer
mementingkan pentingnya memasuki dunia dan pengalaman klien. Mencoba menangkap
hal yang paling penting bagi klien pada saat itu. Dalam hal ini biasanya
menggunakan teknik wawancara motivasi ( motivation interview-MI) yaitu suatu
cara terapis yang berpusat pada klien untuk mencapai perubahan perilaku dengan
cara membantu klien mengeksploras dan mengatasi ketidakseimbangan. ( Richard
and Susan,2012:160)
2.3
Metode
penanganan Gestal
1)
Teori
Gestalt
Psikologi
Gestalt merupakan salah satu aliran psikologi yang mempelajari suatu gejala
sebagai suatu keseluruhan atau totalitas, data-data dalam teori psikologi
Gestalt disebut sebagai fenomena (gejala). Fenomena adalah data yang paling
dasar dalam psikologi Gestalt. Dalam hal ini psikologi Gestalt sependapat
dengan filsafat fenomonologi yang mengatakan bahwa suatu pengalaman harus
dilihat secara netral.
Menurut
Gestalt, baik strukturalisme maupun behaviorisme kedua-duanya melakukan
kesalahan, yaitu karena mengadakan atau menggunakan reductionistic approach,
artinya keduanya mencoba membagi pokok bahasan menjadi elemen-elemen. Pandangan
pokok psikologi Gestalt adalah berpusat bahwa apa yang dipersepsi itu merupakan
suatu kebulatan, suatu unity atau suatu Gestalt. Psikologi Gestalt semula
memang timbul berkaitan dengan masalah persepsi, yaitu pengalaman Wertheimer di
stasiun kereta api yang disebutnya sebagai phi phenomenon. Dalam pengalaman
tersebut sinar yang tidak bergerak dipersepsi sebagai sinar yang bergerak.
Walaupun secara objektif sinar itu tidak bergerak. Dengan demikian, maka dalam
persepsi itu ada peran aktif dalam diri perseptor. Ini berarti bahwa dalam
individu mempersepsi sesuatu tidak hanya bergantung pada stimulus objektif
saja, tetapi ada aktivitas individu untuk menentukan hasil persepsinya.
2)
Terapi
Gestalt
Terapi
gestalt yang dikembangkan oleh Frederick Perls adalah bentuk terapi
eksistensial yang berpijak pada premis bahwa individu-individu harus menemukan
jalan hidupnya sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi jika mereka berharap
mencapai kematangan. [16]
Asumsi dasar terapi gestalt adalah bahwa individu
mampu menangani sendiri masalah-masalah hidupnya secara efektif. Disini tugas utama terapis adalah membantu
klien agar mengalami sepenuhnya keberadaanya di sini dan sekarang dengan
menyadarkannya atas tindakannya mencegah diri sendiri merasakan dan mengalami
masa sekarang.
3)
Teknik Terapi Gestalt
Menyajikan sejumlah uraian
ringkas tentang sejumlah permainan yang bisa digunakan, mencakup:
- Permainan dialog
- Berkeliling
- Bermain
proyeksi
- Teknik Pembalikan
- Permainan ulangan
- Permainan melebih-lebihkan”
- Tetap dengan perasaan
4)
Gestalt
dalam konseling
Proses
terapi gestalt :
1.
Membentuk pola pemikiran terapeutik,
agar tercipta situasi yang memungkinkan perubahan yang diharapkan pada klien.
Pada setiap klien pola yang diciptakan berbeda karena setiap individu serta
memilki kebutuhan yang bergantung pada masalah yang harus dipecahkan .
2.
Memaksa pengawasan yaitu koselor
meyakinkan klien untuk mengikuti prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan
kondisi klien. Ada 2 fase yaitu:
a. Menimbulkan
motivasi pada klien. Dalam hal ini di beri kesempatan untuk menyadari
ketidakpuasannya. Makin tinggi penyadaran atas ketidakpuasaanya makin besar
motivasi untuk mencapai perubahan dirinya, sehinnga makin tinggi keinginan
klien untuk bekerjasama dengan konselor.
b. Menciptakan
rapport yaitu hubungan baik antara konselor dan klien agar timbul rasa percaya
pada klien bahwa segala usaha konselor itu disadari benar oleh klien untuk
kepentingannya.
3.
Klien didorong untuk mengatakan
perasaan-perasaannya pada pertemuan terapi saat ini. Klien diberi kesempatan
untuk mengalami kembali segala perasaan dan perbuatan pada masa lalu dalam
situasi di sini-saat ini. Klien diberi kesempatan mengungkapkan segala
perasaannya dengan dasar asosiasi bebas. Melalui fase ini konselor berusaha
menemukan celah/aspek kepribadian yang hilang. Dari sisni ditemukan penyembuhan
apa yang harus dilakukan.
4.
Pada fase ini klien harus memilki
cirri-ciri yang menunjukkan integritas kepribadiannya sebagai individu yang
unik dan manusiawi.
Adapun
teknik-teknik yang bisa digunakan dalam konseling Gestalt antara lain:
a)
Enhancing Awareness yaitu klien dibantu
untuk berada pada pengalamannya sekarang secara sadar.
b)
Personality pronouns yaitu klien diminta
untuk mempribadikannya pikirannya untuk meningkatkan kesadaran pribadinya.
c)
Changing question to statemens yaitu
mendorong klien untuk untuk menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang dapat
mendorong untuk mengekpresikan dirinya dan bertanggung jawab bagi
komunikasinya.
d)
Assuming responsibility yaitu klien
diminta untuk mengalihkan kata “won’t” untuk can’t”.
e)
Bertanya “bagaimana” dan “apa” menjadikan individu masuk ke dalam pengalaman perilakunya sendiri.
f)
Sharing hunces yaitu mendorong klien
untuk mengeksplorasi dari dengan menanamkan tilikan seperti “Saya lihat”
g)
Bringing the past into the now membantu
klien agar menggalami pengalaman-pengalaman masa lalu dalam situasi sekarang.
h)
Expressing resentments and appreciation
yaitu membantu klien untuk mengidentifikasi dan menyatakan keadaandan penghargaan
dirinya.
i)
Using body expression yaitu mengamati
ekspresi badan klien dan memusatkan perhatian untuk membantu kesadaran
individu.
2.4
Metode Penanganan Perspektif Sosiokultural
Perspektif sosiokultural menekankan cara
individu terpengaruh oleh orang lain. Institusi social dan kekuatan social yang
berasal dari dunia yang mengelilingi mereka [17].Teoritikus
sosiokultural meyakini bahwa kita harus mempertimbangkan konteks – konteks sosial
yang lebih luas dimana suatu perilaku muncul untuk memahami akar dari perilaku
abnormal. Mereka meyakini bahwa penyebab perilaku abnormal mungkin dapat
ditemukan pada kegagalan masyarakat dan bukan pada kegagalan orangnya.
Perspektif keluarga
Pendukung perspektif
keluarga (family perspective) memandang abnormalitas disebabkan oleh
gangguan-gangguan pada pola interaksi dan hubungan yang ada didalam keluarga.
Meskipun terdapat perbedaan teori dalam perspektif keluarga. Keseluruhan teori
menfokuskan pada dinamika keluarga(
family dynamic), interaksi di antara anggota keluarga. Terdapat empat
pendekatan utama dalam perspektif keluarga ( Sharf,1996;
Richard and Susan,2012).
Ø Antar generasi.
Ø Structural
Ø Strategi
Ø Berdasarka pengalaman
Treatmen
Terapi
kelompok
Irvin
Yalom (1995), teoritikus terapi kelompok terkemuka menyatakan bahwa ada
beberapa factor dalam pengalaman kelompok yang bersifat terapeutik. Klien dalam
terapi kelompok biasanya merasakan kelegaan dan harapan karena menyadari bahwa
maslalah mereka tidaklah unik. Terapi kelompok dalam struktur yang lebih formal
juga telah menjadi sebuah komponen prosedur treatmen untuk berbagai kondisi
yang lain. Terapi kelompok memberi mereka dukungan situasi yang kondusif untuk
diskusi yang terus terang mengenai dorongan dan metode kontrak diri (
berlin,1998).
Pendekatan
Multikultura
Treatmen
ini harus melibatkan tiga komponen utama., yaitu kesadaran, pengetahuan dan
ketrampilan.[18]
Ø Kesadaran
Kesadran
melibatkan pengenalan efek konteks sosiokultura terhadap klien maupun klinisi.
Ø Pengetahuan
Penegtahuan
dicirikan oleh komitmen untuk belajar mengenai budaya, etnis, dan kelompok ras
klien mereka serta bagaimana factor-faktor tersebut memainkan peranan penting
dalam assessmen, diagnosis, dan treatmen.
Ø Ketrampilan
Ketrampilan
meliputi penguasaan akan teknik terapi budaya khusus yang dapat merespons
karakteristik unik dank lien yang mereka berikan treatmen.
Terapi
milieu
Terapi
ini mengharuskan staf dan klien bekerja sama sebagai komunitas terapeutik dalam
sebuah situasi terapi untuk meningkatkan fungsi positif klien. Ide dibalik
terapi milieu adalah bahwa tekanan konformitas terhadap norma social
konvensioanal perilaku akan mencegah klien dengan gangguan parah seperti
skizofrenia untuk mengeluarkan simtom-simtom yang bermasalah. Efek normalitas
dari lingkungan yang mendukung dimaksudkan untuk membantu individu membuat
transisi yang lebih halus dan lebih efektif dalam kehidupan diluar komunitas
terapeutik.[19]
[2] Alwisol , Psikologi kepribadian ( Malang, 2009) hal 13
[3] Richard P. Halgin, ed, Psikologi Abnormal ( Jakarta, 2012) hal
145
[4] Ibid. hal 144
[5] Alwisol , Psikologi kepribadian ( Malang, 2009) hal 16
[6]
Ibid. hal 16
[7] Richard P. Halgin, ed, Psikologi Abnormal ( Jakarta, 2012) hal
145
[8] Richard P. Halgin, ed, Psikologi Abnormal ( Jakarta, 2012) hal
151-152
[9] Jeffrey S.Nevid,ed, Psikologi Abnormal ( Jakarta,2003) hal
104-105
[10] Ibid. hal 105
[11] Richard P. Halgin, ed, Psikologi Abnormal ( Jakarta, 2012) hal
152
[12] Jeffrey S.Nevid,ed, Psikologi Abnormal ( Jakarta,2003) hal 108
[13] Richard P. Halgin, ed, Psikologi Abnormal ( Jakarta, 2012) hal
156
[14]
Ibid.hal 157
[15] Richard P. Halgin, ed, Psikologi Abnormal ( Jakarta, 2012) hal
158
[16]
Gerald Cory, Teori dan Praktek Konseling& Psikoterapi (Bandung,2009) hal
117
[17] Richard P. Halgin, ed, Psikologi Abnormal ( Jakarta, 2012) hal
160
[18] Richard P. Halgin, ed, Psikologi Abnormal ( Jakarta, 2012) hal
164
[19] Richard P. Halgin, ed, Psikologi Abnormal ( Jakarta, 2012) hal
165
Alwisol.2009.
Psikologi Kepribadian. Malang: UMM
Press
Sobur,Alek.
2009. Psikologi Umum. Bandung: CV
Pustaka Setia
Nevid, Rathus,and Beverly Green. 2005. Psikologi Abnormal: PT Gelora Aksara
Pratama
Ardi,Rahayu,
and Yulia Solichatun. 2007. Psikologi
Klinis. Yogyakarta: Graha Ilmu
Halgin,Richard & Witbourne,Susan.
2009. Psikologi Abnormal. Jakarta:
Selemba Humanika
Corey, Gerald. 2009.Teori dan Prektek Konseling&Psikoterapi.Bandung: Aditama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar